Bab dibolehkannya Ghibah Menurut Islam

Fatwa Syaikh Bin Baz Rahimahullah


Bab dibolehkannya Ghibah Menurut Islam

Dialihbahasakan:

Dr. Dodi Iskandar, S.Si, M.Pd

Ketahuilah sungguh ghibah dibolehkan untuk tujuan yang benar dan sesuai syariat, karena tidak mungkin tujuan yang benar sesuai dan sesuai syariat tercapai kecuali dengan ghibah. Yaitu ada 6:
Pertama:
Pengaduan. Boleh bagi pihak yang dizolimi (baca:”dirugikan”) untuk menyampaikan aduan kepada pemerintah, hakim, dan orang selain dari keduanya yang punya kewenangan, atau kepada orang yang punya kemampuan menghilangkan kezoliman tersebut (dari penerjemah, contoh: penipu jual tanah bodong atau travel umroh abal-abal dan timnya). Ia boleh mengghibahi: si fulan telah berbuat jahat kepada saya.

Kedua:
Meminta tolong untuk mengubah kemungkaran dan menasehati pelaku maksiat (kezoliman) agar kembali ke jalan yang benar. Ia boleh mengghibahi di hadapan orang yang diharapan punya kemampuan menghilangkan kemungkaran (kezoliman):”fulan berbuat kezoliman seperti ini dan itu, tolong nasehati si fulan dan ungkapan semisalnya”. Tujuan ghibah disini adalah untuk menghilangkan kemungkaran, mengghibah dengan tujuan selain itu maka haram.

Ketiga:
Meminta fatwa
Ia boleh berghibah di hadapan mufti (pemberi fatwa/nasehat) misal: ayahku atau saudaraku atau suamiku atau fulan telah menzolimi saya, apakah ia boleh berbuat demikian?, apa jalan keluar untukku agar terbebas dari kezoliman tersebut, agar aku mendapatkan hak saya kembali, dan agar terbebas dari kejahatannya?”, Maka ghibah seperti ini boleh karena ada kebutuhan syariat. Akan tetapi lebih berhati-hati dan lebih utama, ia berghibah dengan mengatakan: “bagaimana pendapat anda tentang seorang pria, si fulan, suami, dalam urusan kezoliman ini? maka dengan mengghibahi dengan cara seperti ini bisa ia lakukan untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan tanpa menyebutkan nama, meskipun dengan menyebutkan nama berghibah seperti itu tetap boleh.

Keempat:
Memperingatkan kaum muslimin dari suatu keburukan dan menasehati mereka. Ghibah seperti ini boleh dari beberapa sisi:

a. Sisi pertama
Mengkritik orang-orang yang layak dikritik dalam periwayatan dan kesaksian hadist nabi. Ghibah seperti ini boleh berdasarkan ijma bahkan wajib karena ada kebutuhan syariat.

b. Sisi kedua
 Musyawarah karena akan menikahi si fulan atau akan bekerja sama dengan sifulan, atau akan menitipkan harta ke sifulan, atau akan bermuamalah dengan sifulan, dan selain nya, atau bertetangga dengannya, dan ada kewajiban bermusyawarah terhadap sesuatu agar supaya jelas kondisi si fulan dan agar tidak ada yang disembunyikan keadaan si fulan yang sebenarnya, bahkan dengan menyebutkan keburukannya di dalam musyawarah tersebut karean adanya kebutuhan terhadap nasehat (bimbingan). Ghibah seperti ini boleh

c. Sisi ketiga
Ketika melihat penuntut ilmu mendatangi ahli bid'ah atau mengambil ilmu dari orang fasik (tahu haram namun tidak mau taubat dari dosa besar seperti zina, mabuk, ghosob dst), dan dikhawatirkan penuntut ilmu tersebut mendapatkan bahaya (subhat dan syahwat), maka wajib menasihatinya dengan mengghibahi ahli bidah atau orang fasik tersebut asal tujuannya memberikan nasehat. Terkadang hasad menjadi latar belakang bagi pihak yang menasihati (mutakallim), karena iblis yang menipunya, maka waspada dari hal tersebut 
d. Sisi keempat
 
Pemberian perlindungan yang tidak terlaksana sebagaimana mestinya, baik karena Pihak yang memberikan perlindungan (wali) bukan orang yang baik, atau walinya adalah orang fasik, atau walinya adalah orang yang lalai, maka wajib menggibahi hal tersebut kepada wali pusat untuk menghentikan wali yang tidak baik atau fasik atau lalai tersebut. Sehingga ia mendapatkan wali yang baik, yang mengetahui hal tersebut sehingga dapat memperlakukan sesuai dengan kondisi dirinya, dan ia tidak ditipu, sehingga berusaha memotivasi dirinya untuk istiqomah atau merubah keadaannya.

Kelima:
Karena adanya orang yang terang-terangan dalam kefasikannya atau kebid'ahannya seperti terang-terangan minum khomer (minuman memabukan), menyita dan mengambil harta dengan paksaan dan kezoliman,  boleh menggibahi hal tersebut tanpa menyebut aib lainnya, kecuali ada sebab lain dari apa yang sudah disebutkan.

Keenam:
Karena kebutuhan identifikasi, ketika seseorang dapat hanya dapat dikenali dengan julukan orang buta, lumpuh, tuli, juling, dan lainnya, boleh mengenalinya dengan mengghibahi (menyebut kekurangannya tersebut), dan haram secara mutlak jika menyebut dengan niat mencela, jika masih bisa mengidentifikasi tanpa menyebut kekurangannya tentu itu lebih utama.

Referensi:

No comments:

Post a Comment